Melestarikan Nilai-Nilai Ramadhan

Melestarikan Nilai-Nilai Ramadhan

Oleh : Ustadz Haris Jaya Dipraga, S.Pd.I (Binrohis RS Islam Yogyakarta PDHI)

       Setelah Ramadhan kita akhiri, bukan berarti berakhir sudah suasana ketaqwaan kepada Allah SWT, tapi justru tugas berat kita untuk membuktikan keberhasilan ibadah Ramadhan itu dengan peningkatan ketaqwaan kepada Allah SWT, karena bulan sesudah Ramadhan adalah Syawwal yang artinya peningkatan. Disinilah letak pentingnya melestarikan nilai-nilai Ibadah Ramadhan.

       Sekurang-kurangnya, ada lima nilai ibadah Ramadhan yang harus kita lestarikan, paling tidak hingga Ramadhan tahun yang akan datang.

        Pertama, tidak mudah berbuat dosa. Ibadah Ramadhan yang kita kerjakan dengan sebaik-baiknya membuat kita mendapatkan jaminan ampunan dari dosa-dosa yang kita lakukan selama ini, karena itu semestinya setelah melewati ibadah Ramadhan kita tidak mudah lagi melakukan perbuatan yang bisa bernilai dosa, apalagi secara harfiyah Ramadhan artinya membakar, yakni membakar dosa.

       Bila dosa itu kita ibaratkan seperti pohon, maka bila sudah dibakar, pohon itu tidak mudah tumbuh lagi, bahkan bisa jadi mati, sehingga dosa-dosa itu tidak kita lakukan lagi. Dengan demikian, jangan sampai dosa yang kita tinggalkan pada bulan Ramadhan hanya sekadar ditahan-tahan untuk selanjutnya dilakukan lagi sesudah Ramadhan berakhir dengan kualitas dan kuantitas yang lebih besar.

       Kalau demikian jadinya, ibarat pohon, hal itu bukan dibakar. Namun, hanya ditebang cabang-cabangnya sehingga satu cabang ditebang tumbuh lagi tiga, empat bahkan lima cabang dalam beberapa waktu kemudian. Jangan sampai hal itu menjadi pelipatgandaan dosa.

       Kedua,  nilai ibadah Ramadhan yang harus kita lestarikan adalah hati-hati dalam bersikap dan bertindak. Selama beribadah Ramadhan, kita cenderung berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Hal itu karena kita tidak ingin ibadah Ramadhan kita menjadi sia-sia dengan sebab kekeliruan yang kita lakukan.

       Sikap seperti ini merupakan sikap yang sangat penting sehingga dalam hidupnya, seorang muslim tidak asal melakukan sesuatu. Apalagi sekadar mendapat nikmat secara duniawi.

       Kehati-hatian dalam hidup ini menjadi amat penting mengingat apapun yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Apapun yang hendak kita lakukan harus kita pahami secara baik dan dipertimbangkan secara matang, sehingga tidak sekadar ikut-ikutan dalam melakukannya. Allah SWT berfirman:

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya (QS Al Isra [17]:36).

       Ketiga, yang harus kita lestarikan dalam kehidupan sesudah Ramadhan adalah bersikap jujur. Ketika kita berpuasa Ramadhan, kejujuran mewarnai kehidupan kita sehingga kita tidak berani makan dan minum meskipun tidak ada orang yang mengetahuinya. Hal ini karena kita yakin Allah SWT yang memerintahkan kita berpuasa selalu mengawasi diri kita. Kita tidak mau membohongi Allah SWT dan tidak mau membohongi diri sendiri karena hal itu memang tidak mungkin, inilah kejujuran yang sesungguhnya.

       Setelah berpuasa sebulan Ramadhan semestinya kita mampu menjadi orang-orang yang selalu berlaku jujur. Baik jujur dalam perkataan, jujur dalam berinteraksi dengan orang, jujur dalam berjanji dan segala bentuk kejujuran lainnya dalam kehidupan masyarakat dan bangsa kita sekarang ini.

       Ibadah puasa telah mendidik kita untuk berlaku jujur kepada hati nurani kita yang sehat dan tajam, bila kejujuran ini tidak mewarnai kehidupan kita sebelas bulan mendatang, maka pendidikan dari ibadah Ramadhan kita menemukan kegagalan, meskipun secara hukum ibadah puasanya tetap sah.

       Keempat,  memiliki semangat berjamaah. Kebersamaan kita dalam proses pengendalian diri membuat syaitan merasa kesulitan dalam menggoda manusia  dengan semangat yang tinggi bagi kita dalam menunaikan shalat yang lima waktu secara berjamaah. Sehingga di bulan Ramadhan inilah mungkin shalat berjamaah yang paling banyak kita laksanakan, bahkan melaksanakannya juga di masjid atau mushalla.

       Ibadah Ramadhan yang membuat kita dapat merasakan lapar dan haus, telah memberikan pelajaran kepada kita untuk memiliki solidaritas social. Yakni kepada mereka yang menderita dan mengalami berbagai macam kesulitan, itupun sudah kita tunjukkan dengan zakat yang kita tunaikan.

       Semangat berjamaah kita sesudah Ramadhan ini semestinya menjadi sangat baik, apalagi kita menyadari bahwa kita tidak mungkin bisa hidup sendirian, sehebat apapun kekuatan dan potensi diri yang kita miliki, kita tetap sangat memerlukan  pihak lain.

       Kelima adalah melakukan pengendalian diri. Puasa Ramadhan adalah pengendalian diri dari hal-hal yang pokok seperti makan dan minum. Kemampuan kita dalam mengendalikan diri dari hal-hal yang pokok semestinya membuat kita mampu mengendalikan diri dari kebutuhan kedua dan ketiga, bahkan dari hal-hal yang kurang pokok dan tidak perlu sama sekali.

       Kemampuan kita mengendalikan diri dari hal-hal yang tidak benar menurut Allah dan Rasul-Nya merupakan sesuatu yang amat mendesak. Bila tidak,  kehidupan ini akan berlangsung seperti tanpa aturan, tak ada lagi halal dan haram, tak ada lagi haq dan bathil, bahkan tak ada lagi pantas dan tidak pantas. Yang jelas, selama manusia menginginkan sesuatu, hal itu akan dilakukannya meskipun tidak benar, tidak sepantasnya dan sebagainya.

       Bila ini yang terjadi, apa bedanya kehidupan manusia dengan kehidupan binatang. Bahkan masih lebih baik kehidupan binatang, karena mereka tidak diberi potensi akal, Allah SWT berfirman:

“ Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya  untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang  ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS Al A’raf [7]:179).

       Dengan demikian, harus kita sadari bahwa Ramadhan adalah bulan pendidikan dan latihan. Keberhasilan ibadah Ramadhan justru tidak hanya terletak pada amaliyah Ramadhan yang kita kerjakan dengan baik. Namun hal yang tak kalah penting adalah bagaimana menunjukkan adanya peningkatan taqwa yang dimulai dari bulan Syawal hingga Ramadhan tahun yang akan datang.

Artikel bisa dibaca/ diakses di Koran Republika Edisi Rabu, 13 Juli 2016 Halaman 12 atau di Facebook/ Twitter RS Islam Yogyakarta PDHI.

13664731_1048371828531214_1009922583_n

0 Komentar