
RS Islam Yogyakarta PDHI baru saja melaksanakan sertifikasi RS Syariah oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) dan Majelis Upaya Kesehatan Islam Seluruh Indonesia (MUKISI). Dasar utama dalam pendekatan prinsip syariah tersebut adalah maqhosid syariah. Untuk memperdalam pendekatan tersebut, RS Islam Yogyakarta PDHI menggelar pengajian khusus karyawan bertajuk “Maqhosid Syariah”.
Ustad Faturahman Kamal, Lc, MA yang menjadi pembicara dalam pengajian tersebut menjelaskan bahwa maqoshid syariah adalah sejumlah makna, nilai dan konsekuensi yang seharusnya lahir pada diri seorang muslim. Ia juga berarti sebagai nilai-nilai dasar yang sangat fundamental tentang diwajibkannya syariah tersebut kepada kaum muslimin.
“Bagaimana kita sebagai muslim yang dibebani oleh Allah dapat mewujudkan nilai-nilai syariah tersebut di dalam kehidupan kita,” jelasnya.
Untuk memahami ini, lanjut Ustad Kamal, ada dua istilah, yaitu maqashidul khittob dan maqashidul ahkam. Maqoshidul khittob adalah tujuan yang dikehendaki oleh Allah yang tertulis secara tekstual dalam naskh. Jadi, maksud ayat atau wahyu tersebut sudah terimplementasi secara tekstual dan operasional dalam hidup kita. “Misalnya, ada perintah dari Allah untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka kita melaksanakan perintah tersebut sesuai syarat dan rukunnya. Kita sudah sampai pada tujuan itu,” jelasnya.
Akan tetapi, Ustad Kamal balik bertanya, apakah maksud Allah dalam memerintahkan syariah itu hanya sampai pada itu? Tentu tidak. Karenanya, kita harus sampai pada maqashidul ahkam. Yaitu, apa yang diinginkan Allah kepada kita setelah Allah mewajibkan syariah tersebut. Dengan kata lain, agar sampai pada ghoyyah atau capaian tertinggi dari tujuan ditetapkannya syariah tersebut. “Misalnya, ketika shalat itu diwajibkan, maka status shalat itu memiliki visi yang sangat jauh,” katanya.
Ustad Kamal juga mencontohkan bagaimana implementasi ghoyyah tersebut dalam hidup seorang muslim. menurutnya, tujuan kita hidup tentu bukan mati, namun bagaimana agar sampai kepada Allah dan berjumpa dengan-Nya. Itulah ghoyyah seorang muslim. “Jadi, dunia bukanlah maksud pokok atau tujuan fundamental dari tujuan hidup seorang muslim,” tandasnya.
Implementasi dalam Bekerja
Begitu juga saat seorang muslim bekerja di rumah sakit Islam. Menurut Ustad Kamal, setiap karyawan bekerja sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO) yang telah ditetapkan. Bila ia sudah melakukan pekerjaan sesuai SPO, ia maka baru sampai pada tahap profesionalisme. “Bila demikian, lalu apa bedanya kita dengan seorang pekerja lain yang non muslim?” katanya retoris.
Jadi, lanjut Ustad Kamal, kalau kita melihat dari perpesktif maqhosidul ahkam, maka setiap karyawan baik itu dokter, perawat atau siapa pun, harus sampai pada capaian tertinggi atau ghoyyah dalam pekerjaan. Bahwa semua aktifitas kita, dari struktur yang tertinggi sampai yang terbawah secara administratif itu adalah dalam kerangka manifestasi amanah kehambaan kepada Allah (ubudiyah).

Karyawan-Karyawati sedang khusyu’ mendengarkan untaian ceramah dari ustad Fathurahman Kamal, LC, MA di masjid Multazam RS Islam Yogyakarta PDHI.
Jadi, menurut Ustad Kamal, bila ada karyawan yang menyelesaikan tugas sesuai SOP dengan baik, maka baru sampai pada aspek ibadah. Tetapi, bagaimana menginternalisasi aspek ibadah yang sifatnya formalistik itu ke dalam sikap hidup kita, sehingga kita menyadari bahwa kita sebagai hamba. Namun, kita bukan sebagai hamba direktur atau atasan, namun abdun (hamba) dalam konteks kepada Allah. “Inilah maqam tertinggi dari seorang hamba,” jelasnya.
Menurut Ustad Kamal, orang yang sudah sampai pada tingkat itu, kehadirannya dalam suatu tempat adalah konteksnya tidak semata-mata horizontal dengan manajemen. Tetapi juga vertikal di mana pertanggungjawabannya itu langsung kepada Allah. “Jadi, ketika ada dokter yang salah mendiagnosa pasien sehingga mengakibatkan kerugian bagi pasien, itu bukan semata-mata kesalahan etika namun juga dipertanggungjawabkan kepada Allah,” jelasnya.