Merancang Kebangkitan Umat Ala Generasi Shalahudin

Merancang Kebangkitan Umat Ala Generasi Shalahudin

Pembebasan al-Quds di Palestina menjadi tolak ukur kebangkitan umat Islam. Hal ini mengacu pada peristiwa keruntuhan dan direbutnya kembali al-Quds oleh Salahudin. Dalam peristiwa tersebut, ada peristiwa kemunduran umat Islam ketika ditaklukannya al-Quds dan kebangkitan umat ketika direbutnya kembali.

Hal tersebut disampaikan Ustad Yusuf Maulana saat mengisi pengajian karyawan RS Islam Yogyakarta PDHI di Masjid Multazam, Sabtu kemarin. Tema yang diangkat dalam pengajian tersebut adalah Visi dan Strategi Kebangkitan Umat. Ustad Yusuf kemudian mengutip buku karya Dr. Majid Irsad Kailani, Kebangkitan Generasi Shalahudin Dan Kembalinya Al-Aqsa ke Pangkuan Islam.

Menurut Ustad Yusuf, mengutip buku tersebut, masyarakat Islam harus belajar penyebab-penyebab kemunduran umat Islam kala itu sehingga al-Quds bisa direbut oleh musuh. Faktor pertama adalah terjadinya perpecahan pemikiran Islam dalam tubuh umat. Hal ini terlihat dari munculnya mazhabisme yang berselisih secara hebat kala itu, dalam aspek aqidah maupun cabang fiqh. “Perselisihan itu bahkan sampai mengarah pada perang fisik dan membunuh beberapa orang,” katanya.

Dampak perselisihan antar mazhab kemudian menyebar menjadi kerusakan umat dalam berbagai bidang. Dari mulai rusaknya tujuan pendidikan, sampai pada perpecahan dan anarkisme sosial-politik. Selanjutnya pola pemikiran tasawuf yang ekstrim dan filsafat yang menyimpang juga memberikan andil besar dalam merancukan pola pemikiran umat ketika itu. Akibatnya, dampaknya semakin besar, di mana aspek perekonomian menjadi rusak, terjadi inflasi, kalangan pejabat dan konglomerat semakin kontras kehidupannya dengan yang miskin. “Bahkan, harta 1 telur kala itu senilai 1 dirham emas,” kata Ustad Yusuf.

Dalam kondisi tersebut, menurut Ustad Yusuf, umat Islam sudah tidak mungkin disatukan untuk menghadapi serangan tentara Salib yang ingin merebut al-Aqsa. Sehingga, masjid suci umat Islam tersebut jatuh ke tangan tentara Salib tanpa perlawanan yang berarti.

Setelah al-Quds jatuh ke tangan musuh, muncul Imam Al-Ghazali yang mengobarkan gerakan perubahan melalui penyadaran dan pendidikan kesatuan umat. Imam Ghazali tidak mengobarkan untuk mengangkat pedang, karena akan sia-sia melihat umat sudah terpecah-pecah. Karenanya, Imam Ghazali mendirikan madrasah untuk mendidik kader-kader umat masa depan, dengan pola pemikiran yang baru. “Di Madrasah al-Ghazali, semua mazhab dapat disatukan karena untuk urusan fiqih diserahkan ke mahzabnya masing-masing,” terang Ustad Yusuf.

ilustrasi, Salahudin al-Ayubi, sumber: embahnyutz.WordPress.com

Kemudian, perjuangan al-Ghazali diteruskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jailani yang merupakan murid dari guru yang dahulunya dididik di madrasah al-Ghazali. Al-Jailani membangun madrasah dan gerakan reformasinya. Aspek yang ditekankan sama seperti yang ditekankan oleh Imam Ghazali, yaitu kaderasisasi umat dalam kerangka persatuan Islam. Madrasah pusat (seperti madrasah Abdul Qadir Al Jailani) menjadi pusat pendidikan utama (kaderisasi), madrasah model ini tersebar di banyak kota-kota besar dunia Islam timur ketika itu. Sedangkan madrasah-madrasah yang terletak di daerah pedesaan berfungsi untuk membimbing umat.

Sehingga, ketika Nurudin Zanki dan Shalahudin Al Ayyubi melakukan reformasi sosial politik ketika itu banyak alumni-alumni madrasah di atas yang mengisi banyak posisi penting. Para ulama (cendekiawan) bergabung dalam institusi politik dan militer. Masyarakat juga sudah memiliki kesiapan untuk menerima reformasi itu. Rekonstruksi sosial-ekonomi-politik kemudian menjadi mudah untuk dilakukan. Puncaknya adalah pada jihad militer untuk mengembalikan Al Quds ke pangkuan umat dengan keberhasilan yang spektakuler.

0 Komentar