Pelayanan RS Syariah

Pelayanan RS Syariah

Oleh: Agus Nur Cahyo, Staf Humas RS Islam Yogyakarta PDHI.

Geliat masyarakat Islam di dunia untuk kembali pada life style syariah perlu diapresiasi. Life style syariah yang sedang melanda masyarakat muslim tersebut tentu bukan semata-mata trend musiman, namun lebih pada gerakan kesadaran untuk membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Karena syariah, bukan sebuah kata ‘seksi’ yang menarik pasar dan hanya bernilai komoditas, namun memiliki esensi yang mulai yaitu perintah dari Allah.

Dalam al-Qur’an (Al-Jatsiyah: 18) disebutkan, “Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari (agama itu), maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.” Fenomena life style syariah yang sedang melanda masyarakat muslim dunia sebaiknya dipahami sebagai bagian dari konsistensi terhadap ayat Allah tersebut. Yaitu, sebagai gerakan kesadaran global untuk membumikan prinsip-prinsip syariah.

Life style syariah ini tidak hanya berupa produk makanan, dengan label Islam atau halal, namun mulai merambah ragam produk lain seperti pakaian, produk kecantikan, perbankan dan lainnya. Bahkan sekarang, gagasan bagaimana membumikan pinsip-prinsip syariah tersebut sudah mulai diimplementasikan dalam pelayanan kesehatan yang ditandai dengan munculnya rumah sakit syariah. Di Indonesia, lembaga yang memiliki otoritas untuk memberikan sertifikasi syariah tersebut adalah MUI.

Dasar hukumnya adalah UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 109, yang menyebut bahwa institusi, baik itu perusahaan atau lembaga apa pun yang mendeklarasikan dirinya syariah, maka dia harus punya Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS tersebut direkomendasikan oleh MUI sehingga sertifikasi RS Syariah ditangani oleh MUI melalui Dewan Syariah Nasional (DSN).

Setahun sebelumnya, MUI telah mengeluarkan fatwa Nomor 107 Tahun 2016 tentang pedoman penyelenggaraan RS berdasarkan prinsip Syariah. Hebatnya, fatwa ini merupakan yang pertama di dunia tentang RS Syariah. Artinya, ketika negara-negara lain (terutama negara Islam) belum menginternalisasikan prinsip-prinsip syariah ke dalam aturan baku RS, Indonesia telah berani memformulasikan dan mengimplementasikan prinsip-prinsip syariah tersebut di dalam RS secara menyeluruh dari semua aspek.

Di Indonesia, baru ada 10 RS yang berprinsip syariah dan sudah mendapatkan sertifikasi dari DSN MUI. Di antaranya RS Islam Sultan Agung Semarang, RS Nurhidayah Bantul, RS PKU Wonosobo, RS Sari Asih Ciledug Tangerang, RS Sari Asih Sangiang Tangerang, RS Sari Asih Arrahmah Tangerang, RS Amal Sehat Wonogiri, RS Muhammadiyah Lamongan, RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, dan RS Islam Yogyakarta PDHI. Kesepuluh RS tersebut saat ini menjadi pelopr RS Syariah di Indonesia, bahkan dunia.

Pendekatan Maqashid Syari’ah

Pelayanan kesehatan Islami sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sebenarnya telah lama digulirkan pada acara-acara ilmiah, baik dalam forum organisasi RS maupun pelayanan kesehatan Islami. Para pakar dan praktisi kesehatan Islam telah lama membahasa bagaimana menginternalisasikan nilai-nilai Islam dalam pengelolaan dan pelayanan kesehatan di RS.

Formulasi pendekatan yang digunakan adalah Maqashid Syariah yang dicetuskan oleh Imam Syatibi. Pendekatan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan realitas atau situasi praktikal dalam hubungannya dengan tujuan akhir (maqashid) dan nilai-nilai mulia syari’at, serta aturan masyarakat dan peradaban.

Maqashid syari’ah merupakan tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Penerapan Maqashid syariah dalam RS terwujud dalam 5 poin: pemeliharaan agama (hifdzun-din), pemeliharaan jiwa (hifdzun-nafs), pemeliharaan akal (hifdzulaql), pemeliharaan keturunan (hifdzunnasl), pemeliharaan harta (hifdzul-mal). RS Syariah menjamin diterapkannya 5 pemeliharaan tersebut yang terurai ke dalam 173 elemen penilaian standar sertifikasi RS Syariah.

4 Poin Penilaian

RS yang didasarkan oleh semangat menegakkan syariah sebenarnya memiliki added Values. Maksudnya, RS tersebut bukan hanya memenuhi standar kualitas dan keselamatan pasien yang dipersyaratkan Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), karena salah satu syarat sertifikasi RS Syariah adalah harus lulus akreditasi KARS, namun juga harus memenuhi standar penilaian yang telah ditetapkan oleh DSN MUI.

Setidaknya ada 173 elemen penilaian standar yang terangkum ke dalam 4 poin utama penilaian. Pertama, masalah akad atau kontrak. Akad merupakan sebuah persetujuan atau perjanjian yang dibuat antara satu orang atau lebih untuk pelaksanaan suatu perbuatan. Dalam konsep ini, akad yang dilakukan RS meliputi dengan pasien, karyawan, supplier alat kesehatan, vendor obat dan lainnya biasanya menggunakan akad ijarah (pemindahan hak manfaat) atau ba’i (jual-beli).

Kedua, masalah standar mutu pelayanannya. Dalam hal ini, ada 13 poin tentang pelayanan yang syariah. Di antaranya, membaca basmalah sebelum melakukan tindakan, pemasangan electrocardiograms (ECG) sesuai gender, memberikan edukasi keislaman dan keruhanian, jadwal operasi tidak berbarengan dengan waktu shalat kecuali terpaksa, terjaganya hijab bagi pasien, dan menjaga khalwat (pria dan perempuan bukan mahram berada di ruang yang sama) dan ikhtilat (berkumpulnya beberapa laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya di satu tempat).

Ketiga, masalah penggunaan obat. Kriterianya adalah wajib menggunakan obat halal yang tersertifikasi oleh LPPOM. Bila tidak ada yang halal karena kesulitan memenuhi kriteria utama, setidaknya tidak mengandung yang haram. Bila kedua kriteria utama tersebut tidak bisa terpenuhi, yang artinya dalam keadaan dharurat, alternatifnya bisa menggunakan obat yang haram. Namun, harus melalui prosedur persetujuan tindakan medis (informed consent). Yaitu, persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien.

Keempat, bagaimana penempatan dana-dana dari RS. Setiap RS pasti memiliki tempat penyimpanan dari keseluruhan dana yang dimilikinya. Umumnya, tempat-tempat penyimpanan tersebut adalah bank. Dalam penilaian RS Syariah, bank yang digunakan oleh RS harus bank dengan prinsip syariah (bank syariah), baik untuk penyimpanan maupun dalam bentuk kerja sama pembiayaan lainnya.

Spirit Khairul Ummah

Standar penilaian tersebut adalah upaya real dari MUI untuk menjamin terwujudnya nilai-nilai maqhosid syariah di RS. Spirit yang diusung sebenarnya adalah bagaimana mewujudkan khairul ummah sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi saw. Spirit tersebut kemudian mengalirkan upaya untuk meningkatan pelayanan kesehatan yang dibingkai dengan kaidah-kaidah Islami.

Dalam konteks pelayanan kesehatan, Islam telah mengajarkan praktek hubungan sosial dan kepedulian terhadap sesama dalam suatu ajaran khusus, yakni akhlak. Di mana pengejawantahan akhlak (sikap) harus mengandung unsur akidah (dasar) dan syari’ah (jalan). Praktik pelayanan kesehatan di RS merupakan bagian kecil dari pengamalan ajaran akhlak yang luhur, sehingga asuhan medik dan keperawatan di RS merupakan bagian dari akhlak.

Oleh karena itu, tenaga medis dan penunjang medis yang bekerja di RS Syariah harus mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah Allah. Artinya, pelayanan kesehatan bagi mereka adalah sebagai ibadah sekaligus dakwah untuk menebar rahmat Allah di muka bumi. Dalam RS Syariah, para dokter, perawat dan seluruh stkeholder RS harus memahami bahwa kerjanya adalah ibadah, di mana tujuan akhirnya adalah mencari ridha Allah. Dengan begitu, pelayanan kesehatan di RS yang mengedepankan prinsip-prinsip syariah dapat diimplementasikan dengan baik.

Dengan hadirnya RS Syariah, diharapkan masyarakat tidak perlu khawatir lagi dalam memeriksakan kesehatannya di RS. Karena, RS Syariah telah menjamin pemeliharaan terhadap lima hal di atas. Kata ‘syariah’ juga bukan menjadi momok yang menakutkan bagi non Islam, justru menjadi jaminan terciptanya pelayanan kesehatan yang rahmatan lil’alamin.

Dimuat di Republika, Sabtu, 1 September 2018

0 Komentar