
Oleh: Ery Surayka Puspa Dwi, S.Psi., Psi., CHt (Psikolog Klinis di RSIY PDHI)
Saat ini, perilaku bullying seolah-olah telah menjadi budaya yang dilakukan oleh anak-anak usia sekolah, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Masalahnya, tindakan bullying ini jarang sekali dilakukan secara perorang, namun lebih sering dilakukan secara kelompok. Parahnya, tindakan ini sering kita temui di sekolah sehingga tentu sangat mengganggu perkembangan dan pembentukan mental anak terhadap lingkungan sosialnya.
Menurut riset yang dilakukan oleh Plan International dengan International Center for Research on Women, sebanyak 84% anak muda di Indonesia berusia 12-17 tahun mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari angka rata-rata di kawasan Asia, yaitu 70%. Namun, tidak semua bentuk kekerasan tersebut dikategorikan sebagai bullying. Temuan terpisah dari UNICEF (2015) menunjukkan bahwa 40% anak muda di Indonesia mengalami bullying di sekolah, sementara 32% dari korban bullying tersebut menjadi korban kekerasan fisik.
Namun UNICEF memiliki temuan menarik dari kasus bullying, bahwa sebanyak 72% anak muda mengaku pernah menjadi saksi dari kekerasan terhadap anak-baik kekerasan fisik, psikis, maupun seksual. Artinya, mereka meskipun tidak melakukan bullying, namun mereka menyaksikan kejadian tersebut. Hal ini menjadi tanda bahwa perilaku bullying memang marak di kalangan anak-anak usia sekolah.
Bullying sendiri dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata perundungan yang artinya perilaku agresif dalam bentuk kekerasan spesifik yang bertujuan menyakiti dan mengganggu serta terjadi secara berulang-ulang baik secara fisik dan mental. Tindakan tersebut bisa berupa kontak fisik langsung, penganiayaan verbal, penganiayaan sosial dan cyberbullying.
Mengapa perilaku bullying tumbuh subur akhir-akhir ini? Penyebabnya adalah adanya hubungan yang tidak harmonis di dalam keluarga, pola asuh orang tua yang salah di mana anak tidak diajari bagaimana seharusnya memperlakukan orang lain atau tidak pernah diberi batasan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, yang akhirnya akan memperlakukan orang lain sesuka hati demi memenuhi kebutuhan dirinya. Terakhir anak yang pernah menjadi korban bullying berpotensi menjadi seorang pem-bully terhadap temannya yang lebih lemah sebagai aksi balas dendam dia pernah di-bully.
Bagaimanakah jika anak menjadi korban bullying di sekolah? Yang harus Anda lakukan bila bullying menimpa anak Anda adalah:
- Dengarkan cerita anak dengan tenang dan percaya padanya
- Berterimakasih pada anak karena telah memberitahukan
- Meyakinkan pada anak bahwa itu bukan kesalahannya
- Meyakinkan anak bahwa Anda tidak akan berbuat apapun tanpa bicara dahulu padanya
- Bicarakan pada pihak sekolah dan cari tahu apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu.
- Menyetujui rencana yang dibuat untuk anak seperti menghindari si pem-bully, membuat pertemanan baru dan memberikan kondisi kondusif agar tidak terulang lagi.
- Teratur memantau perkembangan kondisi anak untuk memberikan rasa aman padanya
- Jelaskan pada anak tentang Golden Rule bahwa kita harus memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.
- Menetapkan target perubahan perilaku.
- Bila anak mengalami gangguan psikologis bawa ke ahli untuk pemulihan jiwa.
Sekali lagi perlu ditekankan pem-bully biasanya hanya berani melakukan aksinya kepada anak yang lemah dan takut saja. Karena itu latihlah anak anda untuk memiliki kepercayaan diri yang baik sehingga bisa bersikap tegas dan berani.
Dimuat di Harian Republika, Rabu, 6 Desember 2017.