Hemodialisa Sebagai Terapi Pada Gagal Ginjal

(Oleh : dr. Emy Andrini – Koordinator UGD RS Islam Yogyakarta PDHI)

Hemodialisa atau yang umum disebut dengan cuci darah adalah salah satu terapi pengganti ginjal pada kasus gagal ginjal, dengan menggunakan mesin hemodialisa dengan tujuan mengeluarkan sisa metabolik tubuh (sampah nitrogen) yang tertimbun dalam darah karena tidak dapat dibuang oleh ginjal dan mengatur cairan tubuh akibat penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) ginjal. Jenis terapi pengganti ginjal yang lain adalah peritoneal dialisis (cuci darah menggunakan rongga perut) dan transplantasi (cangkok) ginjal. Saat ini hemodialisa merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan dan jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Fungsi ginjal secara mudah dapat dilihat dari nilai ureum dan kreatinin serum melalui pemeriksaan darah. Peningkatan nilai ureum dan kreatinin menunjukkan gangguan fungsi ginjal. Indikasi gangguan fungsi ginjal yang memerlukan terapi hemodialisa adalah 1. pasien dengan gagal ginjal terminal (tahap akhir) dengan LFG < 5 ml/menit walaupun tanpa gejala uremikum (lemah, mual, muntah, penurunan kesadaran, perdarahan saluran cerna), 2. LFG < 10 ml/menit dengan gejala uremikum atau malnutrisi (kurang gizi).

Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) dihitung dengan menggunakan rumus Cockcroft-Gault yaitu :

(140 – umur) x Berat Badan

———————————-   dikalikan 0,85 pada wanita

72 x kreatinin serum

Terapi hemodialisa dilaksanakan menggunakan mesin hemodialisa, dengan alat dialiser yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Darah dipompa keluar dari tubuh, masuk ke dalam dialiser untuk dibersihkan melalui proses difusi dan ultrafiltrasi dengan dialisat (cairan khusus untuk dialisis), kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh. Sehingga darah yang kembali ke tubuh sudah relatif bersih dari sampah nitrogen.

Hemodialisa tidak mampu menggantikan seluruh fungsi ginjal, namun dengan hemodialisa rutin pada penderita gagal ginjal kronis dapat mencegah kematian dan bertahan hidup bertahun-tahun. Meskipun demikian, terapi hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan oleh ginjal secara sempurna, yaitu membuang sisa metabolik tubuh (sampah nitrogen), mengatur cairan dalam tubuh, elektrolit dan asam basa, menghasilkan hormon eritropoetin (berperan dalam proses produksi sel darah merah) dan renin (berperan dalam pengaturan tekanan darah). Fungsi hormon sama sekali tidak dapat digantikan oleh terapi hemodialisa. Oleh karena itu penderita gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa perlu diberikan suntikan hormon eritropoetin untuk mempertahankan kadar hemoglobin tetap baik.

Pelaksanaan terapi hemodialisa yang ideal adalah 10-15 jam per minggu atau 2-3 kali per minggu dengan masing-masing tindakan hemodialisa 5 jam, untuk mencapai adekuasi atau kecukupan dialisis, yang ditandai dengan kondisi pasien tampak baik dan aktif, nafsu makan baik, tidak ada gejala mual muntah, tekanan darah terkendali, tidak anemia atau kurang darah (hemoglobin > 10 gr/dl) dan tercapai berat badan kering (tidak ada bengkak atau kenaikan berat badan antar hemodialisa tidak lebih dari 1 kg). Pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa rutin dengan dosis tersebut diharapkan dapat tercapai adekuasi dan tercapai kualitas hidup yang optimal. Sehingga meskipun organ tubuh vitalnya sudah terjadi kerusakan berat atau gagal berfungsi, pasien gagal ginjal dapat merasa nyaman dan bahagia, karena hidup tetap dapat berlangsung dengan baik, dengan menjalani terapi hemodialisa.

0 Komentar