Mengapa Terjadi Kekosongan Obat?

Mengapa Terjadi Kekosongan Obat?

Oleh : Yonea Bakla, S.Farm.,Apt. (Koordinator Unit Farmasi RS Islam Yogyakarta PDHI)

Obat, sebagai suatu sumber penting dalam pelayanan pasien, harus diorganisir secara efektif dan efisien. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.  Masalah kesehatan yang akhir-akhir ini sering dikeluhkan salah satunya dikarenakan kekosongan obat.  Tidak hanya di daerah timur Indonesia, tapi hampir merata di seluruh Indonesia. Apa hal yang menyebabkan terjadinya kekosongan obat? Ada beberapa aspek yang dapat dievaluasi.

Pertama, dalam hal perencanaan. Sistem BPJS yang menerapkan Formularium Nasional (FORNAS), menjadi acuan untuk pengadaan obat. Tidak hanya jenis obat dan jumlah, tapi juga merek obat dan Pabrik produsen obatnya.  Industri farmasi bersaing untuk memproduksi obat dengan harga miring namun tetap mengutamakan kualitas. Jika perencanaan sarana kesehatan baik rumah sakit maupun puskesmas kurang baik, maka jumlah kebutuhan obat tidak dapat diprediksi. Hal ini berakibat pada jumlah produksi yang terbatas. Oleh karena itu, kementerian kesehatan melalui Dinas Kesehatan Provinsi serta Kabupaten/Kota berusaha mengumpulkan data Rencana Kebutuhan Obat (RKO) pada akhir tahun, sehingga kebutuhan obat pada tahun selanjutnya dapat diprediksi. Data RKO menjadi salah satu dasar untuk memproduksi obat di Industri Farmasi.

Kedua, dalam hal produksi. Isu yang muncul di tahun 2016 ini yaitu vaksin palsu. Kenapa? Salah satunya disebabkan karena gagalnya “panen”  di perusahaan produsen vaksin luar negeri yang diimpor ke Indonesia. Hal ini menjadi celah oknum nakal untuk memasarkan vaksin dengan isi yang tidak sesuai. Selain itu, data RKO yang kurang valid menyebabkan Industri obat memproduksi dengan jumlah yang tidak sesuai kebutuhan nasional. Bayangkan semua cairan infus di Rumah Sakit dan Puskesmas se-Indonesia diproduksi oleh dua atau tiga Industri saja. Tentunya tidak mampu memenuhi semuanya. Beberapa kali terjadi kekosongan di Rumah Sakit Swasta karena semua stok didistribusikan ke Rumah Sakit Pemerintah. Selain itu, dari segi bahan baku dan bahan tambahan yang terbatas atau langka menjadi penyebab produksi obat tidak bisa sesuai kebutuhan.

Ketiga, dalam hal distribusi. Kendala transportasi bisa jadi alasan kekosongan obat, terutama pada tanggal-tanggal tertentu. Pada awal atau akhir tahun, sebagian besar Pedagang Besar Farmasi (PBF) melakukan stock opname atau menghitung kesesuaian stok fisik obat dengan stok komputer. Sehingga proses pelayanan pemesanan dari sarana kesehatan ditunda. Pada hari libur nasional atau hari raya. Tentunya PBF libur dan sarana ekspedisi terkendala diperjalanan. Sarana kesehatan bisa jadi sudah memprediksi kemungkinan-kemungkinan ini, namun pada hari-H terjadi hal yang tidak diharapkan, misalnya kasus yang jarang sehingga obat yang dibutuhkan tidak tersedia atau jumlahnya tidak mencukupi.

Keempat, dalam hal penyimpanan. Produk obat dan vaksin memiliki persyaratan penyimpanan tertentu. Sebagian besar obat harus disimpan pada suhu ruang (<25°C) dan cold chain product (produk vaksin, obat injeksi insulin, epineprine, oksitosin, dll) harus disimpan pada suhu kulkas (2-8°C). Jika penyimpanan tidak sesuai, kemungkinan kualitas obat berkurang, atau bahkan rusak. Ketika kualitas berkurang, efek obat tidak akan sesuai dengan yang diharapkan.

Selain masalah kualitas, sering terjadi juga masalah kuantitas. Perencanaan pengadaan yang kurang baik berakibat pada jumlah obat yang kurang atau malah berlebihan (over stock). Misalnya pada obat yang jarang digunakan di sarana kesehatan (slow moving), jumlah obat yang terlalu banyak menyebabkan penumpukan yang kemudian kemungkinan obat kadaluarsa (expired). Obat kadaluarsa harus dimusnahkan supaya tidak disalah gunakan menjadi obat palsu. Pemusnahan obat menyebabkan kerugian secara material bagi sarana kesehatan, terutama Rumah Sakit Swasta, dan berdampak buruk bagi keuangan negara.

Ketersediaan obat menjadi tanggung jawab bersama dari hulu ke hilir antara pihak regulator (Pemerintah), produsen (Industri Farmasi), supplier (PBF) maupun Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) dan Tenaga Kesehatan terkait. Ada berbagai kegiatan yang dilakukan untuk menjamin obat selalu tersedia ketika dibutuhkan. Termasuk proses pinjam-meminjam obat antar sarana kesehatan. Oleh karena itu, perlu kerjasama semua pihak supaya proses ini terjaga baik kualitas maupun kuantitasnya. Harapannya tersedia data yang akurat terkait perencanaan obat (RKO) dari sarana kesehatan dan data distribusi obat (e-report) dari PBF secara nasional, sehingga dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan.

sam_5478

obat

obt

0 Komentar