
Oleh: David Agil Kuncoro, Amd.OT, Okupasi Terapis RSIY PDHI
Manusia adalah salah satu makhluk yang memiliki gerak yang kompleks dalam sehari-hari sehingga melahirkan perilaku yang terbentuk. Notoatmodjo (2003) menyebut perilaku sebagai tindakan atau aktivitas dari manusia yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain, mulai dari berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya.
Perilaku yang terbentuk dari ragam aktivitas manusia tersebut kemudian dibagi menjadi menjadi dua, yaitu perilaku adaptif dan maladaptif. Perilaku adaptif (baik) adalah kematangan diri dan sosial seseorang dalam melakukan kegiatan umum sehari-hari sesuai dengan usia dan berkaitan dengan budaya kelompoknya (Kelly, 1978). Sedangkan perilaku maladaptif (tidak baik) adalah kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek identitas masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek psikisosial kepribadian pada masa dewasa yang harmonis (Stuart dan Sundeen, 1998).
Perilaku maladaptif merupakan bentuk perilaku yang patut menjadi perhatian serius para orang tua. Mengapa, karena gangguan serius dalam tingkah laku dan emosi ini dapat terjadi pada anak-anak usia dini. Anak dengan gangguan ini dapat menunjukkan pola tingkah laku yang mengganggu dan memiliki masalah dalam mengikuti peraturan (dilingkungan atau sekolah).
Perilaku maladaptif yang tidak diatasi pada masa usia dini dapat berlanjut menjadi gangguan kepribadian pada masa dewasa. Sebenarnya bukan hal yang jarang terjadi untuk anak-anak dan remaja memilmiki masalah yang berhubungan dengan perilaku selama perkembangan mereka. Namun, perilaku tersebut dianggap sebagai gangguan ketika bertahan lama dan melanggar hak anak lain.
Gejala perilaku maladaptif bervariasi tergantung pada usia anak dan apakah gangguan ini ringan, sedang, atau berat. Secara umum, gejala dibagi ke dalam 4 kategori umum. Pertama, perilaku Agresif, yaitu perilaku yang mengancam/ membahayakan fisik seperti pertengkaran (pemukulan)/ merebut mainan pada teman/anak lain. Kedua, perilaku destruktif yaitu melibatkan tindakan menghancurkan properti seperti membanting barang karena kesal. Ketiga, perilaku menipu, termasuk kebiasaan berbohong. Keempat, melanggar aturan, yaitu melibatkan perlawanan aturan (di sekolah/ lingkungan) yang diterima anak lain.
Selain itu, banyak anak-anak dengan perilaku maladaptif yang mudah tersinggung dan cenderung emosional. Anak-anak dengan gangguan ini sering tidak menyadari bahwa perilaku mereka dapat menyakiti orang lain. Anehnya, pada umumnya mereka memiliki sedikit rasa bersalah/menyesalnya.
Anak-anak dengan perilaku maladaptif memerlukan respon khusus terhadap perilaku mereka. Seringkali respon yang kurang tepat malah membuat perilaku mereka semakin tidak adaptif. Berikut ini beberapa tips yang efektif untuk merespons perilaku anak-anak yang memiliki perilaku maladaptif, karena inti dari respon kita adalah intruksi sehingga intruksi sebaiknya dilakukan dengan kriteria berikut ini. Pertama, jelas. Pengucapan intruksi harus benar benar jelas, hindari sambil bergumam/ makan/ dengan dialek lain. Misalnya, “budi, ambil!”. Artikulasi harus jelas sehingga anak benar benar bisa membedakan dengan kata/ intruksi lainnya.
Kedua, singkat. Jangan menggunakan kata-kata yang berlebihan karena belum bermakna apapun bagi anak. Malah membuat si anak “kebanjiran” stimulus. Cukup dengan 2-3 kata inti seperti contoh sebelumnya. Hindari instruksi berlebihan seperti, “budi sayang, ambilin cepet dong bolanya…!”. Ketiga, tegas. Instruksi harus diucapkan dengan intonasi yang tegas bukan membentak/ kasar/ marah/ emosi. Tegas adalah bila pengucapan suku kata terakhir lebih pendek dari suku kata sebelumnya. Misalnya, “budi aamm-bil!”.
Keempat, tuntas. Setiap instruksi yang telah diucapkan harus dilakukan oleh anak. Jika dia menolak untuk melakukan, sebaiknya bantulah si anak. Jangan mengerjakan tugas itu untuknya. Misalnya, “budi ambil bola!”. Jika anak tidak juga melakukannya, ulangi instruksi tersebut sekali lagi, jika tetap tidak mau, intruksi lalu raih tangannya untuk mengambil bola. Maksimal instruksi adalah tiga kali pada 1 macam tugas.
Kelima, konsisten. Dalam menyikapi perilaku anak, kita harus konsisten pada intruksi yang kita beritakan. Kalau “Ya” harus “ya”, kalau “tidak” harus “tidak”. Jangan merubah respon kita karena melihat dia menangis/ mengamuk / tantrum. Konsistensi kita akan membentuk kesan yang kuat pada anak sehingga dia akan patuh. Dalam melarang sesuatu biasakan untuk sekaligus memberi alasan dan solusi/ pengalihannya. Misalnya, “budi tidak naik!”, “nanti jatuh!”, “main ini (objek) saja!”.
Keenam, hadiah dan hukuman. Setiap perilaku menimbulkan konsekuensi. Berikan konsekuensi positif/ hadiah apabila anak melakukan perintah. Misalnya, bisa makanan/ minuman, dipeluk, beri tepuk tangan atau yang lainnya. Berikan konsekuensi negatif/ hukuman bila anak menolak melakukan intruksi. Bentuk hukuman bukan perlakuan fisik yang menyakiti tapi lebih pada penundaan pemberian hadiah. Ingat, tetap berikan hadiah ketika anak telah melakukan tugas walaupun dengan bantuan kita.
Ketujuh, jangan bohong. Anak mungkin belum bisa bicara tapi mereka mengingat kita berdasar perlakuan kita terhadapnya. Jika kita konsisten, mereka akan percaya dan patuh. Jika kita tidak konsisten, mereka tidak akan patuh pada kita. Janjikan hal yang mudah dan sudah tersedia karena konsep berfikir mereka masih “ada dan sekarang” atau realistic. Anak-anak masih belum bisa berfikir abstrak.
Dengan prinsip-prinsip tersebut, akan dapat membentuk pola perilaku adaptif anak yang akan menjadi dasar untuk mencapai kepatuahan anak. Bagi orang tua, memberi perintah atau instruksi kepada anak bukan hal yang mudah dilakukan. Jawaban yang sering orang tua dapatkan adalah ‘Sebentar!” atau malah tidak mendapatkan respon sama sekali. Hal ini justru sering membuat frustrasi.
Pada akhirnya, orangtua akan melakukan sendiri tugas yang ia perintahkan, atau memilih untuk berteriak atau mengomel untuk membuat anak patuh. Faktor keluarga khususnya orang tua sangat berperan penting karena orang tua menjadi cerminan anak berperilaku.