Nilai - Nilai Agung Ibadah Haji

Nilai – Nilai Agung Ibadah Haji

Oleh : Ust. Haris Jaya Dipraga S.Pd.I  (Bina Rohani Islam RS Islam Yogyakarta PDHI)

Jika sebahagian kafilah haji sudah bersiap-siap meninggalkan Tanah Suci menuju tanah airnya masing-masing, usai  menunaikan rukun Islam kelima. Perasaan riang dan gembira nampak dari wajah para haji, setelah mereka berjuang untuk menunaikan seluruh manasik haji. Perjuangan dalam menunaikan ibadah haji merupakan perjuangan yang sangat berat. Perjuangan hidup dan mati. Perjuangan menemukan filsafat hidup yang sebenarnya. Mudah-mudahan jemaah haji tahun ini pun dapat meraih makna haji yang sebenarnya.

Gegap gempita ibadah haji seringkali tidak berbanding lurus dengan perilaku sosial umat. Hal ini dikarenakan ibadah haji masih dianggap pesta individu atau dipahami sekadar ritual saja bahkan selebrasi. Padahal, jika ditinjau dari segi bahasa, haji bermakna al-qashdu yang berarti naik atau menuju. Makna ini mengisyaratkan pelakunya siap meninggalkan sekaligus menanggalkan kesenangan duniawi yang bersifat individual menuju pengabdian sosial. Keberangkatan haji dari tanah air menuju tanah suci merupakan transformasi orientasi individual-material menuju misi sosial-spiritual.

Makna mabrur yang merupakan indikator diterimanya ibadah haji berasal kata al-birr, berarti kebaikan. Dalam Al- Qur’an Allah berfirman: ”Kalian belum mencapai kebaikan (al-birr) hingga mampu mendermakan sebagian harta yang kalian cintai.” (QS Ali Imran [3]: 92). Bahkan dalam hadits, Rasulullah ditanya, ”Apa makna mabrur?” Dijawab, ”Suka memberi makan (bantuan sosial) dan lemah lembut dalam bicara.” (HR Ahmad).

Dengan makna tersebut, nampak bahwa mabrur beriorientasi pada kebaikan secara sosial. Kemabruran tidak hanya diukur dari terpenuhinya syarat dan rukun (manasik) haji, namun juga sejauh mana implementasinya secara sosial.

Haji yang mabrur merupakan proses yang tidak terhenti begitu saja saat prosesi haji usai, tapi berlanjut pembuktiannya di masyarakat. Mabrur merupakan cita sosial para haji sepulangnya dari Tanah Suci dalam mengempati, mengemansipasi, dan mengangkat harkat martabat sesama dari kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan keterbelakangan. Dalam konteks inilah orang yang berangkat haji berkali-kali di kala masih banyak tetangga kelaparan sangat bertentangan dengan nilai luhur ajaran Islam dan berarti pula tumpul dalam menghayati cita revolusi sosial ibadah haji.

Ibadah haji bagi seorang Muslim secara artikulatif mempertemukan kewajiban yang bersifat individu dengan misi sosial. Usai ibadah haji, bukan berarti  usai dalam kewajibannya, bahkan kewajiban lain menanti, yakni pengabdian yang lebih tinggi. Sesuai dengan misi ajaran Islam yang paripurna, yaitu bersifat vertikal dan horizontal, maka mentalitas ke-mabrur-an dalam haji pun mesti terkomunikasikan baik vertikal, dengan semakin commited terhadap perintah Allah melalui ibadah (al-mahdhah), juga secara sosial dalam pergaulan hidup bermasyarakat (ghair al-mahdhah).

Secara individual, ibadah haji adalah perjalanan manusia untuk kembali kepada fitrah kemanusiaannya. Kehidupan dunia ini telah melemparkan kita dari fitrah kemanusiaan. Kita telah menjadi makhluk yang rendah. Alih-alih menjadi khalifah Allah, manusia justru menjadi binatang.

Ibadah haji adalah ajang bagi seorang Muslim untuk menempa tanggung jawab keumatan kelak sepulangnya dari tanah suci. Para haji berikutnya dituntut mempersiapkan diri untuk mengejawantahkan nilai-nilai sosio-spiritual haji sebagaimana yang ia peroleh saat melaksanakan manasik haji.

Haji. (blogspot.com)

Setibanya di tanah air, sejatinya sebagai duta umat dan bangsa, para haji harus bersiap diri untuk kembali berbaur dengan berbagai problematika keumatan dan secara aktif turut memberikan solusi pemecahannya. Para haji dituntut untuk turut serta ambil bagian dalam pemberdayaan umat baik di bidang hukum, ekonomi, pendidikan, politik maupun budaya. Sebab, pada umumnya para haji  tergolong kelas masyarakat menengah ke atas, maka sepulangnya dari tanah suci, ia akan semakin dermawan untuk menafkahkan sebahagiaan hartanya di jalan Allah.

Berangkat haji setiap tahun sah-sah saja bila ada kelebihan materi. Namun akan lebih produktif jika kelebihan itu dialokasikan membantu orang miskin, menyantuni anak yatim, memberi beasiswa pendidikan, menciptakan lapangan kerja, dan sebagainya.

Para haji adalah duta yang diharapkan kembali ke pangkuan ummat dengan mengantongi predikat manusia suci yang memiliki sensibilitas sosial yang tinggi. Hal ini karena ibadah haji merupakan panggilan jihad yang membawa misi sosial guna mengentaskan ragam problematika kemanusiaan dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Seandainya tidak turut serta secara aktif dalam menuntun ummat menuju jalan kehidupan yang lebih baik, setidaknya ia dapat menjadi teladan perilaku terpuji di tengah-tengah masyarakat. Para haji dari kalangan pejabat, misalnya, jika tidak mampu memberantas korupsi, setidaknya dirinya tidak lalu menjadi koruptor baru sepulang dari haji. Jangan menjadikan gelar haji atau hajjah untuk menutupi kelakuan korup dan antisosialnya. Alih-alih  tidak mampu menjadi bagian dari pemberi solusi,  maka jangan menambah masalah yang baru.

Setibanya di tanah air, mudah-mudahan atsar manasik mereka mampu menyebarkan keberkahan di sekitarnya. Air zamzam mereka, mudah-mudahan menjadi tetesan-tetesan mukjizat yang menyirami kegersangan hati manusia dan menyuburkan keimanannya. Ketulusan niat mereka mudah-mudahan menghantam para pencinta dunia. Bibir bekas ciuman kepada Hajar Aswad, mampu menyebarkan kata-kata yang membawa kepada kebenaran. Tangan bekas melempar jumrah mampu digunakan untuk menghantam segala kesewenangan dan penindasan.

Selamat kepada para Haji, mudah-mudahan wajah berseri mereka memberikan kesejukan dan kedamaian di tengah kegersangan manusia dan semoga kerinduan kami untuk merasakan mencium Hajar Aswad pun segera Allah kabulkan  di tahun-tahun yang akan datang. Amiin Wallahu A’lam Bishawwab

Haji memiliki nilai ibadah yang sangat mulia. (wordpress.com)

0 Komentar