
[RSIYPDHI] Lantunan ayat suci Al-Qur’an telah bergema sejak pagi, Sabtu (17/12), di Masjid Multazam RS Islam Yogyakarta PDHI. Seluruh karyawan RS Islam Yogyakarta PDHI tampak duduk tilawah bersama dengan khidmat. Pagi itu, karyawan RS Islam Yogyakarta tengah menghadiri pengajian karyawan sebagai sarana pembinaan dan menuntut ilmu.
Pengajian kali itu dibawakan oleh Ustadz Didik Purwodarsono. Beliau memberikan materi bertema hikmah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Ustad Didik menjelaskan, umat Islam harus bisa membedakan mana hari peringatan dan mana hari raya. “Hari raya itu dirayakan, misalnya Idul Fitri/Idul Adha. Sementara Maulid Nabi SAW termasuk hari peringatan saja,” ujarnya.
Hari peringatan, lanjutnya, akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Yakni untuk mencari hikmah-hikmah dibalik suatu hari peringatan, termasuk hari kelahiran Nabi Muhammad SAW/Maulid Nabi SAW. Seperti diketahui bersama, bahwa waktu kelahiran Nabi Muhammad adalah pada 12 Rabiul Awwal bertepatan dengan Tahun Gajah, sekitar 1491 tahun yang lalu atau 53 tahun sebelum hijrah.
Saat itu, kata Ustadz Didik, masyarakat berada di zaman jahiliyah (kebodohan). Zaman juga bisa berulang, termasuk zaman jahiliyah. Ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa suatu masyarakat berada dalam zaman jahiliyah. Pertama, dicantumkan dalam QS. Ali-Imran ayat 154 yang menjelaskan bahwasanya zaman jahiliyah adalah di saat masyarakatnya percaya pada Allah namun tidak menaruh kepercayaan kepada Allah. Bahkan, tidak melibatkan Allah SWT di dalam kehidupannya.
“Tanda yang kedua zaman jahiliyah tertera dalam QS. Al-Fath : 26 yang menjelaskan bahwa orang jahiliyah adalah orang yang sombong,” terang Ustadz Didik. Yang dimaksud dengan sombong adalah menolak kebenaran dan seringkali menistakan manusia. Di saat ini, seringkali orang yang benar justru dimusuhi dan kebenaran justru ditolak. Zaman ini ditunjukkan dengan makin banyaknya sesembahan selain Allah. Misalnya saja teknologi yang justru mengatur manusia, bukan manusia yang mengatur teknologi. Teknologi seharusnya menjadi alat dan sarana semata, bukanlah sesembahan.
Tanda yang ketiga dari zaman jahiliyah tercantum dalam QS. Al-Maidah : 50. Didalamnya menjelaskan tentang tanda kejahiliyahan terdapat dalam masyarakat yang percaya pada Allah namun tidak menggunakan hukum/aturan Allah untuk mengatur kehidupan. “Jika tidak sesuai aturan yang menciptakan alam (Allah), maka rusaklah sistem dan ekosistemnya,” tegasnya.
Selain ketiga tanda tersebut, Ustadz Didik mengatakan, ada tiga tanda khusus bagi wanita jahiliyah dalam QS. Al-Ahzab : 22-23. Tanda tersebut antara lain wanita yang menampilkan diri sebagai obyek/daya tarik seksual semata (genit) dan jauh dari perkataan yang ma’ruf, wanita yang tidak kerasan di rumah (menganggap kewajiban di rumah tidak penting). Padahal, untuk menghidupkan sebuah rumah diperlukan seorang peran istri dan peran ibu. Tanda ketiga dari wanita jahiliyah, kata Ustadz Didik, adalah wanita jahiliyah suka bertabarruj (mejeng) dan hanya mementingkan kecantikan luar semata tanpa mengindahkan kecantikan dalam diri.
Agar setiap wanita terhindar dari kejahiliyahan, maka laki-laki dituntut melaksanakan tiga hal. Yakni mengamalkan QS. An-Nisa : 34, kesadaran tentang memberi nafkah yang merupakan kewajiban bagi laki-laki (suami). “Sementara nafkah yang dicari oleh seorang wanita (istri), jangankan wajib, sunnah saja tidak. Jadi bernilai sedekah,” ujarnya.
Kedua, laki-laki harus mengamalkan QS. Al-Furqon : 74 yang harus senantiasa siap memberi contoh yang baik bagi istrinya dan menjadi imam dalam berumah tangga. Ketiga, kewajiban bagi seorang laki-laki (suami) pula pengajaran bagi anak-anak sesuai dengan QS. Lukman : 13 – 19. “Jadi, memang laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai pasangan, mitra, partner dalam kehidupan. Bukan lawan atau bahkan tandingan,” terang Ustadz Didik sebelum menyudahi pengajian.