
RS Islama Yogyakarta PDHI menggelar pengajian dan halal bihalal bersama karyawan, instansi dan masyaakat sekitar di Gedung Pertemuan setempat, Sabtu (8/7). Acara syawalan ini dimeriahkan oleh dai nasional ust. Wijayanto dan hadrah karyawan Harsy. Dalam sambutannya, Direktur RSIY PDHI, dr. Widodo Wirawan, M.P.H berharap agar tetap terjalin kerja sama dan komunikasi yang baik antara rumah sakit dengan masyarakat dan instansi di sekitar.
“Kami selalu menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Karenanya, kami senang sekali dengan kehadiran bapak dan ibu dalam acara ini,” katanya.
Dalam acara ini, dr. Widodo mewakili segenap jajaran rumah sakit mengucapkan selamat syawal dan berharap dileburnya dosa-dosa dalam bulan ini. Beliau juga meminta doa kepada seluruh tamu yang hadir agar RSIY PHDI mampu meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. “Sesuai namanya, syawal yaitu peningkatan, kami mohon doa agar senantiasa dapar meningkatkan kualitas layanan kepada pasien, keluarga pasien dan masyarakat,” jelasnya.
Sedangkan, Ust. Wijayanto yang mengisi pengajian tersebut memaparkan tentang makna dari halal bi halal. Menurutnya, acara-acara halal bi halal ini bila diruntut betul ajarannya dalam al-Qur’an dan hadits, ini tidak ada. Halal bi halal ini asli dan murni konstruksi serta kreasi budaya asli masyarakat jawa. “Jawa pun Jawa DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta, red),” tandas dai yang sering muncul di televisi ini.
Menurut Ust. Wijayanto, orang yang pertama kali menggelar halal bi halal adalah Mangku Negoro IV di Mangkunegaran. Tetapi belum disebut istilah halal bi halal yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin setelah ramadhan. Baru setelah kemerdekaan, KH Ahmad Dahlanlah orang yang pertama kali menggagas acara halal bihalal. Ketika itu, pemuda Kauman (Yogyakarta) banyak yang ikut mengusir Belanda padahal mereka sebelumnya bekerja dengan Belanda. “Maka tidak enak banget dan susah mengadakan pengajian. Maka dibuatlah istilah halal bi halal. Jadi ini adalah istilah akademisiasi,” terangnya.
Ust. Wijayanto memandang penting budaya halal bi halal ini sebagai salah satu ciri dan budaya yang harus diperihara, bahkan dipatenkan. Menurutnya, ketika diundang di istana kepresidenan, ia sudah menegaskan untuk yang ketiga kalinya kepada wakil Presiden agar mematenkan budaya ini. “Tolong halal bi halal ini segera dipantenkan. Sebab kalau tidak segera dipatenkan, nanti akan diambil orang Malaysia. Dibilangin budayanya Malaysia. Ini murni milik bangsa, murni tradisi jawa” tegasnya.
Sebenarnya, tradisi halal bi halal juga terjadi di Arab sebagai tempat munculnya agama Islam. Akan tetapi, prakteknya berbeda dengan di Indonesia. Menurut Ust. Wijayanto, di Arab halal bi halal itu bila ia mengambil kurma di pasar dengan bilang “halal”. Bila penjualnya bilang “halal”, maka boleh langsug di makan. “Tapi makna itu jangan dibawa ke Indonesia. Karena kalau nanti halal bi halal memakai makna Arab, akan kacau,” katanya.
Meski demikian, Ust. Wijayanto menandaskan bahwa bahasa tergantung kesepakatan. Di Indonesia makna halal bi halal adalah saling memaafkan, bukan saling menghalalkan sebagaimana yang ada di Arab. “Karena halal bi halal di Indonesia secara betul harus nikah dahulu. Sehingga akan kacau bila makna Arab di bawa ke Indonesia,” jelasnya.
Selain itu, Ust. Wijayanto menjelaskan bahwa simbol dari halal bi halal ini adalah ketupat. Ketupat itu adalah simbolisasi dari budaya jawa, kupat. Yaitu, ngaku lepat (mengaku lalai/salah, red). Dalam membuat ketupat, harus diisi oleh beras putih. Putih adalah simbol dari kesucian. Beras juga berarti nafsu dunia. Kemudian diikat harus menggunakan janur, yaitu jatining nur (sejatinya cahaya, red). “Maka tidak ada artinya kita halal bi halal kalau tidak memutihkan hati. Tidak menyucikan hati dan tidak menghidupkan nurani,” jelasnya.