

Tim Surveior RS Syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Majelis Upaya Kesehatan Islam Seluruh Indonesia bersama Direktur RS Islam Yogyakarta PDHI, dr. Widodo Wirawan, MPH di depan gedung UGD.
RS Islam Yogyakarta PDHI baru saja melakukan survei sertifikasi RS Syariah oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) dan Majelis Upaya Kesehatan Islam Seluruh Indonesia (MUKISI), Sabtu (7/4) kemarin. Menurut Direktur RS Islam Yogyakarta PDHI, dr. Widodo Wirawan, MPH, rumah sakitnya termasuk dari 10 RS yang telah berhasil disurvei. “Kita akan masuk menjadi 10 pioner RS Syariah di Indonesia dan di dunia. Karena dari MUI, fatwa RS Syariah merupakan fatwa pertama di dunia,” katanya.
Hal ini juga diamini oleh Ketua Tim Surveior, Dr. Moch. Bukhori Muslim, Lc, MA. Menurutnya, sertifikasi ini dasar hukumnya adalah fatwa MUI Nomor 107 Tahun 2016. Ini adalah fatwa pertama di dunia. “Hanya Indonesia yang punya. Dan insya Allah, RSIY PDHI termasuk sepuluh yang pertama,” tandasnya.

Tim Surveior RS Syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Majelis Upaya Kesehatan Islam Seluruh Indonesia bersama Direktur RS Islam Yogyakarta PDHI, dr. Widodo Wirawan, MPH menaiki kuda menandai pembukaan agenda Survei Sertifikasi RS Syariah, Hari ini, Sabtu (7/18).
Dr. Widodo berharap akan ada lebih banyak lagi RS lainnya yang akan mendapat sertifikasi RS Syariah. Bahkan ada juga RS Pemerintah di Aceh yang ingin mendapat sertifikasi RS Syariah. “Mudah-mudahan kita ikut menjadi contoh RS lain dalam rangka menuju sertifikasi RS Syariah,” harapnya.
Sertifikasi syariah merupakan amanah Allah dan undang-undang. Muslim menjelaskan, menurut UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 109, bahwasanya institusi, baik itu perusahaan atau lembaga apa pun yang mendeklarasikan dirinya syariah, maka dia harus punya Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS itu direkomendasikan oleh MUI. “Maka kenapa sertifikasi syariah ini ditangani oleh MUI, karena ada amanah,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Muslim, tentu yang pertama adalah karena perintah Allah bahwa kita harus bersyariah. Hal ini sesuai dengan QS. Al-Jatsiyah ayat 18, “Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari (agama itu), maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.”. “Masa kita sudah Islam tidak mau mengikuti syariah. Makanya ini adalah amanah dari perintah Allah dan Undang-Undang,” terangnya.
RS Syariah merupakan tekad dari MUI. Menurut Muslim, Ketua MUI mendorong agar lembaga syariah di bidang bisnis juga digalakkan. Jangan hanya bank saja yang syariah, namun bisnisnya juga harus syariah, termasuk rumah sakit, hotel dan lainnya. Nanti jika sudah interconnecting semua, maka akan terjadilah kebangkitan ekonomi Islam. “Oleh karena itu, kita umat Islam harus bareng-bareng membangkitkan ekonomi umat Islam ini di semua sisi. Ini adalah arus baru ekonomi Islam,” tandasnya.
Tim Surveior RS Syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Majelis Upaya Kesehatan Islam Seluruh Indonesia bersama Direktur RS Islam Yogyakarta PDHI, dr. Widodo Wirawan, MPH menaiki kuda menandai pembukaan agenda Survei Sertifikasi RS Syariah, Hari ini, Sabtu (7/18).
4 Aspek Penilaian RS Syariah
Muslim menjelaskan bahwa di DSN MUI itu ada 4 poin utama yang menjadi penilaian untuk mendapatkan sertifikat RS Syariah. Pertama, masalah akad atau kontrak. Bagaimana akad antara RS dengan pasien, RS dengan karyawan, RS dengan supplier, RS dengan vendor obat dan lainnya. “Ini harus dilihat karena terkait kehalalan rezeki kita. Jangan sampai kita mencari kehidupan di sini tapi kontraknya tidak benar, nanti rezekinya tidak halal,” terang Muslim.

Tim Surveior RS Syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Majelis Upaya Kesehatan Islam Seluruh Indonesia bersama Pengurus Yayasan PDHI, Jajaran Direksi, Manajemen dan Struktural RS Islam Yogyakarta PDHI berfoto bersama.
Kedua, pelayanan yang memuat 13 poin tentang pelayanan yang syariah, termasuk menyediakan fasilitas untuk ibadah, mengingatkan dan membimbing tata cara melakukan ibadah untuk pasien.
Ketiga, penggunaan obat. Kriterianya adalah wajib menggunakan obat halal yang tersertifikasi oleh LPPOM. “Bila tidak ada yang halal, setidaknya tidak mengandung yang haram. Kalau tidak bisa juga dan harus dengan yang haram, harus melalui prosedur inform concern sebagi alternatif,” paparnya.
Keempat, penempatan dana-dana dari Rumah Sakit. Apakah di tempat konvensional atau di tempat syariah dan kerja sama dengan pihak-pihak pembiayaan. “Misalnya pembiayaannya oleh bank, maka apakah oleh bank syariah atau konvensional,” tambahnya.